Mencari Biduk di Sungai Komering

Oleh ERWAN SURYANEGARA
sumber artikel
“DI unggak ijan nyak tipoguk, jolma Kumoring busumbah rik hati susah, bak api niku biduk mak ulah lagi liu, sanipa biduk ga liu basa batanghari di liba wayna tinggal cutik…Dang sapona, dang sapona, liak akibatna way batanghari sikam jadi langok” (Di atas tangga aku termenung, orang Komering berkata dengan hati susah, mengapa engkau perahu tidak pernah lagi lewat, bagaimana perahu mau lewat kalau sungai di hilir airnya tinggal sedikit…Jangan begitu, jangan begitu, lihat akibatnya air sungai kami menjadi surut mengering). Demikian, kira-kira makna dari sepenggal ‘plesetan’ lagu Komering yang berjudul Di Unggak Ijan.
Secara umum tampaknya masyarakat Komering seolah sudah terhipnotis oleh sebangsa dewa memabukkan yang bernama ‘pembangunan’, sehingga semua diam dan terbungkam ketika dibangun upper Komering di daerah Perjaya – Buay Madang, guna meninggikan air sungai Komering agar sebagian besar aliran airnya bisa dialihkan ke wilayah Belitang.
Konsep pembangunan upper Komering katanya untuk mengendalikan luapan Sungai Komering di saat datang musim hujan, dan sekaligus guna lebih mendorong produktivitas pertanian khususnya beras, di daerah Belitang. Dengan kata lain, disebutkan pula itu sebagai upaya untuk lebih meningkatkan pendapatan petani penggarap guna perbaikan tarap hidup (terutama materi). Sebelumnya, wilayah tersebut memang sudah dikenal sebagai salah satu sentra atau daerah pemasok beras bagi Sumatra Selatan bahkan nasional.
Faktanya, di pengujung 2008 lalu, banjir tetap saja menggenangi 10 dusun (desa) di OKU Timur, setelah wilayah Sumsel diguyur hujan lebih kurang sepekan. Menurut Kompas, Rabu (17 Desember 2008), “Sebanyak 1.598 hektar lahan sawah di wilayah Sumatera Selatan tergenang banjir selama sekitar 5-8 hari akibat meluapnya sejumlah sungai besar. Wilayah yang paling parah terkena banjir berada di Kabupaten OKU Timur. Genangan air sawah di kawasan ini disebabkan oleh meluapnya Sungai Komering yang kemudian merembet di saluran irigasi.”
Menampik perihal banjir di OKU Timur, peningkatan produksi beras di daerah ini memang tercapai dan surplus, seperti yang dicita-citakan. Sang Gubernur dan Bupati pun, telah bolak-balik Palembang-Jakarta guna menerima penghargaan nasional bidang pangan. Namun, untuk peningkatan tarap hidup petani penggarap seperti yang juga ikut didengungkan selama ini relatif sangat sulit untuk dapat diukur tingkat keberhasilan atau ketepatan sasarannya. Terutama bagi masyarakat di sebelah hilir proyek upper Komering, dengan surplus beras di wilayah Belitang, adakah mereka turut merasakan dampak untungnya?
Dengan memejamkan mata, pembangunan upper Komering memang bisa dikatakan relatif mencapai tujuannya. Tetapi, kenyataannya mata ini tidak dapat dipejamkan terus-menerus, apalagi dengan telinga yang memang tidak ditutupi. Keluhan demi keluhan, gerutu, ocehan, bahkan kini semakin banyak warga Komering yang mulai menyumpah serapah atas dampak negatif yang ditimbulkan setelah dibangunnya upper Komering tersebut saat musim kemarau, terutama bagi dusun-dusun atau masyarakat yang bermukim di sebelah hilir dari dusun Perjaya.
Sudah sejak lama Sungai Komering dikenal dengan airnya yang mengalir secara anggun dan tenang, sembari dari hari ke hari dengan setia ia selalu memenuhi janji, guna mengairi petak-petak huma serta kobun-kobun tradisional masyarakatnya. Kini, sawah-sawah tadah hujan juga kebun-kebun itu semakin sulit untuk produktif, terutama jika datang musim kemarau dan atau sejak air Sungai Komering dialihkan alirannya.
Pematang-pematang sawah dan kebun itu kini telah kesepian dan menjadi semak-belukar serta dipenuhi oleh rumput ilalang, karena sudah ditinggalkan petani penggarap atau pemilik. Sehingga, sekarang tidak mungkin lagi dapat melihat umak, niay, dan atau tan adik yang sedang berjalan meniti pematang-pematang sawah guna mengantarkan makan siang buat ubak dan kiay, seperti ketika mereka dulu masih bisa menggarap huma dan atau kebunnya.
Sejak dulu masyarakat Komering seperti umumnya masyarakat Nusantara yang tinggal di tepian sungai, juga menjadikan Sungai Komering sebagai sarana mandi, cuci, kakus (MCK). Namun, dengan siklus dan proses yang berlangsung secara alamiah, air Sungai Komering termasuk ikannya terbukti tetap aman dan terus dapat dikonsumsi oleh hulun Kumoring secara turun-temurun, hingga hari ini.
Di Sungai Komering memang hidup berbagai jenis iwak (ikan), seperti: hindik, haruan, patin, lampam, kopor, saluang, balida, tauman, kapiak, juga hurang serta yang lainnya. Mungkin, sejak berabad lalu ikan-ikan itu dapat hidup beranak pinak dari hulu hingga ke hilir Sungai Komering, atau mereka dapat melangsungkan siklus kehidupan alaminya secara berkesinambungan, termasuk dipanggang, dipindang, dan atau digulai oleh akas, ombai, dan ompu-ompu atau para keturunannya di sepanjang aliran Sungai Komering.
Tidak mengherankan bila banyak orang Komering dengan biduk-biduknya, akan melintas hilir-mudik di atas Sungai Komering dalam rangka melakukan aktivitas keseharian mereka, seperti: ngajala, ngawil, anjaring, dan atau ngabubu, guna mendapatkan ikan sekadar untuk disantap bersama keluarga.
Demikian pula ketika musim panen buah durian atau duku Komering tiba, masyarakat Komering juga ada yang menggunakan sarana biduk dan atau rakik (rakit), tiliba (menghilir ke Palembang) dengan menelusuri aliran Sungai Komering, guna mengekspor hasil panenan, antara lain duku, durian, limau, dan punti (pisang). Lalu, buah-buah itu dijual di Palembang.
Performance aliran Sungai Komering yang tenang, karena membawa atau di dasar sungai mengandung banyak pasir, yang bisa ditambang masyarakat dan digunakan sebagai campuran semen, misalnya bila mereka ingin memperbaiki rumah panggung yang kebetulan sudah mulai lapuk termakan usia.
Sungai Komering yang semula besar dan menjadi sumber kehidupan utama jolma Kumoring itu, kini dengan upper Komering terutama di musim kemarau sudah tidak ubahnya dengan air siring alias selokan, yang mengalir kecil membelah hamparan pasir di dasar Sungai Komering, berkelok dan meliuk di antara lubang-lubang kecil sebagai sumur-sumur pasir, yang digali masyarakat supaya bisa mendapatkan air… Ironis!
Kondisi tersebut dalam kesehariannya mungkin akan membuat balita, anak-anak, dan remaja Komering terutama di sebelah hilir, mulai tercerabut dari tradisi leluhurnya. Mereka menjadi seperti orang asing di-tiuh-nya sendiri. Mahmud, Hindun, Midah, Jumahad, dan banyak lagi pemuda Komering lain kini telah mulai kehilangan biduk-biduk termasuk suhar buntak dan suhar tojang (dayung ukuran pendek dan panjang) milik akas-nya.
Generasi muda Komering dengan sendirinya akan mulai jarang menggunakan atau menuturkan kosa-kosa kata daerahnya, seperti bulangui (berenang), nyolom (menyelam), bubiduk di way doros (berperahu di air deras), ambubu atau ngabubu (memperangkap ikan), dan lain sebagainya. Aktivitas keseharian dari hidup dan kehidupan masyarakat di sekitar tepian Sungai Komering, pelan namun pasti dengan sendirinya akan berubah, khususnya pada dusun-dusun di sebelah hilir dusun Perjaya.
Kini, pemandangan dengan biduk-biduk yang disuhar atau melaju hilir mudik, baik pagi, siang, maupun sore hari di atas sungai Komering bagian hilir telah menghilang seiring dengan keberadaan upper Komering. Sekarang, biduk-biduk itu tidak dapat lagi bergoyang seolah-olah menari mengikuti irama riak kecil arus sungai Komering, ketika ia ditambatkan di tepian sungai. Kini, keberadaan biduk-biduk itu telah berpindah tempat dan seolah-olah tertidur lelap menelungkup di bawah rumah-rumah panggung milik masyarakat.
Serombongan mouli rik maranai (gadis dan bujang) di beberapa dusun pun resah, karena belakangan ini mereka sudah tidak mungkin lagi dapat membuat janji bila ada acara ningkuk (acara bujang – gadis), guna berekreasi atau bersenda-gurau bersama dengan bubiduk di way doros. Juga, tan niay rik tan adik (ayuk dan adik) tentulah tidak dapat lagi mohpoh (mencuci pakaian) dan atau ngalimbang bias (mencuci beras) di batanghari. Dengan kata lain, mulai hilanglah tradisi “pangkalan” (aktivitas masyarakat di tepian Sungai Komering).
Tidak lama lagi, Pak Barob, Pak Lunok, Kamaman, Pak Balak, Pak Tongah, Pak Nik, dan Pak Uncit atau Pak Ungsu (para uwak dan paman) akan bersiap-siap kehilangan biduk, karena lambat laun namun pasti ratusan bahkan ribuan rayap telah siap bersarang sambil menggerayangi dan menggerogoti sedikit demi sedikit biduk-biduk milik mereka.
Sempat ada wacana dari pihak terkait untuk mengeruk hamparan pasir di dasar Sungai Komering yang telah tidak berair itu. Tetapi pertanyaannya. akankah itu mengatasi persoalan yang ada, atau motivasinya lagi-lagi masih dan hanya sekadar proyek belaka? Sebab, perilaku perusakan alam dengan pengalihan aliran air sungai dan rencana pengerukan pasirnya itu jelas menunjukkan kerja sporadis belaka.
Kini, tanpa disadari dampak negatif dari upper Komering itu lambat laun mulai mengebiri dan akan terus berperan dalam pemiskinan atau bahkan pemusnahan bagian-bagian tertentu dari budaya Komering, termasuk pula tentunya akan memutuskan mata rantai dan kelestarian habitat dari biota-biota yang selama ini hidup dan ada di Sungai Komering bagian hilir dari upper Komering.
Banyak orang yang telah meng-claim eksistensi upper Komering sebagai suatu prestasi dalam pembangunan di wilayah ini, khususnya bidang pertanian dan pengairan. Katanya, proyek ini memang telah melibatkan para konsultan ahli yang berasal dari institut ternama di negeri ini. Tragis…Kan!
Untuk membuktikannya, mungkin perlu diujicobakan kepada para konsultan ahli itu sendiri. Mereka harus merasakan hasil analisis atau karyanya itu, dengan cara mencoba tinggal (menetap) dalam tempo seminggu – sebulan saat musim kemarau berlangsung di salah satu dusun, misalnya di Betung, Menanga, Adumanis, Kangkung, Suka Negeri, Ulak Baru, Gunung Jati, Kuripan, Campang Tiga, Cempaka atau beberapa dusun lain.
Maranai rik mouli Kumoring susah di lom hati (bujang dan gadis Komering susah di dalam hati), mereka mengkhawatirkan nasib yang menimpa Sungai Komering saat ini, bukan tidak mungkin akan dialami juga oleh dulur-nya, seperti Sungai Rawas, Lematang, Ogan, Batanghari, Kampar, Kapuas, Barito. Atau yang lain.
Berikut plesetan syair dari lagu Ombai Akas: “Ombai rik akas, ombai rik akas, sikam kok mak haga lagi mulang guk tiuh, bak sikam mouli rik maranai kok mak pacak ngaliak lagi biduk liba-hulu di tiuh, ombai dipa biduk akas…umak dipa biduk ubak?” (Nenek dan kakek, nenek dan kakek, kami sudak tidak mau lagi pulang ke dusun, sebab kami gadis dan bujang sudah tidak bisa lagi melihat perahu hilir-mudik di dusun, nenek di mana perahu kakek…ibu di mana perahu bapak?).[*]

*) Perupa dan Pemerhati Kebudayaan Sumsel, tinggal di Kalidoni – Palembang